Faktor
keluarga sangat berperan aktif bagi siswa dan yang dapat mempengaruhi dari
keluarga antara lain: Penerapan pola asuh yang kurang tepat oleh orang
tua, , perekonomian keluarga yang rendah, broken home dan relasi
antara anggota keluarga yang kurang baik.
a.
Penerapan pola asuh yang kurang tepat oleh orang
tua
Cara orang
tua mendidik besar sekali pengaruhnya terhadap prestasi belajar anak, karena
keluarga adalah lembaga pendidikan yang pertama dan utama. Orang tua merupakan
sosok orang tua yang ideal buat anak karena bagi mereka orang tua adalah yang
memberikan kasih sayang, mendidik, mengarahkan dan membimbing mereka menjadi
anak yang lebih baik dan bermanfaat.
Secara garis
besar terdapat tiga pola asuh yang berbeda diantaranya yakni authoritarian atau
otoriter, permissive (permisif) dan authoritative atau demokratis. Berikut ini
merupakan penjelasan dari ketiga bentuk pola asuh dan pengaruhnya terhadap
anak.
Pola asuh
demokratis/autoritatif menjadikan anak memiliki intensi prososial, kompetensi
sosial, prestasi belajar, sikap asertif, penyesuaian diri, ketaatan pada
peraturan lalu lintas, kepribadian wirasawasta, yang lebih tinggi dibanding
anak-anak yang memperoleh pola asuh otoriter maupun permisif dari orangtua. Di
samping itu, juga menunjukkan bahwa bola asuh demokratis menjadikan anak
memiliki prokrastinasi dan depresi yang lebih rendah dibanding anak yang
diasuh dengan pola asuh otoriter dan permisif.
Penanaman
sikap disiplin, menerima apa adanya, memberikan motivasi berprestasi serta
aspek spiritual kepada anak diakui merupakan dasar pembentukan
karakter anak berprestasi. Aspek psikis dan spiritual pada anak yang
dihasilkan oleh orang tua dengan pola asuh otoritatif sangat menunjang secara
signifikan prestasi anak. Penghargaan terhadap prestasi anak juga dilakukan
oleh orang tua dengan pola asuh autoritatif (demokratis) walaupun hanya
dengan ucapan selamat atas prestasi yang mereka peroleh. Sikap orang tua
tersebut akan memberikan efek psikologis bahwa mereka merasa dihargai
eksistensinya dan menjadikan mereka lebih termotivasi untuk berprestasi lebih
baik lagi.
Ketika anak
mempunyai masalah dengan sekolah, hubungan dengan seseorang dan lingkungannya,
mereka lebih suka/nyaman membicarakannya dengan orang tua karena orang tua
lebih bisa menyimpan rahasia pribadi dan memberikan solusi, nasehat untuk
membantu menyelesaikan masalah, meskipun ada juga yang lebih suka curhat
dengan temannya dengan alasan karena teman atau sahabat mereka menjadi tempat
berbagi cerita dan menjadi kepercayaan mereka.
Orang tua
dengan pola asuh autoritatif bersikap responsif terhadap kebutuhan anak dan
mendorong anak untuk menyatakan pendapat atau pertanyaan. Mereka menyatakan
bahwa orang tua mereka mau mendengarkan pendapat, solusi dan berdiskusi
terhadap suatu hal atau masalah. Sikap orang tua tersebut akan memberikan efek
rasa percaya diri anak terhadap kemampuannya dalam menyelesaikan permasalahan
yang dihadapi. Dengan berdiskusi memberikan ruang bagi orang tua untuk
memberikan penjelasan tentang dampak perbuatan yang baik dan buruk bagi anak
dan anak pun memahami sikap dan alasan orang tua terhadap mereka. Sehingga hal
ini akan memberikan kepercayaan anak terhadap orang tua bahwa mereka mendukung
sepenuhnya aktivitas mereka dan harapan mereka akan menjadi orang yang
berhasildan bermanfaat.
Namun jika
orang tua menerapkan pola asuh yang otoriter akan dapat mengganggu prestasi
belajar anak, karena pola ini menuntut anak untuk dapat mengikuti
peraturan-peraturan orang tua. Orang tua mempunyai harapan yang terlalu tinggi
terhadap anaknya. Mereka memaksa anak-anaknya untuk selalu rajin belajar dan
memperoleh nilai tinggi tanpa mempertimbangkan apakah anak memiliki kemampuan
yang cukup memadai untuk melakaksanakan kegiatan-kegiatan belajar memperoleh
nilai tinggi. Bagi siswa-siswa yang ditakdirkan tidak memiliki kemampuan yang
cukup tinggi dengan sendirinya akan merasakan tugas-tugas dan harapan-harapan
itu sebagai satu siksaan, dan pada gilirannya dapt menimbulakan putus asa dan
tak acuh lagi pada siswa itu sendiri sehingga suatu saat prestasi belajarnya
dapat menurun.
b. Perekonomian
keluarga yang rendah
Keadaan
ekonomi keluarga erat hubungannya dengan belajar anak. Anak yang sedang belajar
selain terpenuhi kebutuhan pokoknya, misalnya makanan, pakaian, perlindungan
kesehatan, dan lain-lain, juga membutuhkan fasilitas belajar seperti ruang
belajar, meja, kursi, penerangan, alat tulis menulis, dan sebagainya.
Hasil
belajar yang baik tidak dapat diperoleh dengan hanya mengandalkan
keterangan-keterangan yan diberikan oleh guru di depan kelas, tetapi
membutuhkan juga alat-alat yang memadai seperti buku tulis, pensil, peta, pena
dan terlebih dahulu lagi buku bacaan. Sebagian besar alat-alat pelajaran itu
harus disediakan sendiri oleh murid-murid yang bersangkutan. Bagi orang tua
yang keadaan ekonoominya kurang memadai sudah barang tentu tidak dapat memenuhi
kebutuhan-kebutuhan anaknya secara memuaskan. Apabila keadaan ini terjadi pada
orang tua siswa, maka siswa yang bersangkutan akan menanggung resiko-resiko
yang tidak diharapkan.
Masalah biaya menjadi salah satu faktor dalam menempuh pendidikan,
kurangnya biaya sangat mempengaruhi kelancaran studi. Kurangnya ekonomi
keluarga akan menimbulkan kelesuan dalam diri siswa sehingga motivasi belajar
menurun.
Dalam setiap langkah yang
dilakukan untuk mencapai tujuan pendidikan, baik yang bersifat kuantitatif
maupun kualitatif biaya pendidikan memiliki peranan yang sangat menentukan.
Hampir tidak ada suatu upaya pendidikan yang dapat mengabaikan peranan biaya,
sehingga dapat dikatakan bahwa tanpa biaya, proses pendidikan di sekolah tidak
akan berjalan. Dalam upaya mengatasi problem ekonomi, orang harus melakukan
pendekatan yang realistis terhadap kehidupan manusia di muka bumi ini. Benar
bahwa seseorang mempunyai berbagai kebutuhan ekonomi selama masa hidupnya. Maka
tidak perlu membesar-besarkan bahwa hal itu sebagai problem besar dalam
kehidupan. Seseorang tidak harus hidup senang sendirian. Oleh karena itu
merupakan kesalahan besar baginya dan tidak sesuai kehidupan kita, nilai etik
dan moral kita, kebudayaan dan masyarakat, serta landasan ekonomi kita. Namun
problema kehidupan yang sulit untuk disembunyikan adalah pendanaan pendidikan.
Kebutuhan hidup berupa barang-barang elektronik mungkin saja tertahan untuk
dihadirkan di dalam rumah tangga, tetapi biaya pendidikan bagi anak merupakan
problema yang sulit disembunyikan. Lanjut tidaknya sang anak dalam menempuh
pendidikan baik di sekolah dasar maupun pada jenjang tingkat yang lebih tinggi
ditentukan oleh kemampuan ekonomi orangtua. Karena itu, dapat dipastikan bahwa
kondisi ekonomi keluarga sangat terkait dan bahkan tidak terpisahkan bagi
proses pendidikan anak.
“Keadaan
ekonomi keluarga erat hubungannya dengan belajar anak”.
Anak yang sedang belajar selain harus terpenuhi kebutuhan pokoknya, misalnya makan, pakaian, perlindungan kesehatan, dan lain-lain juga membutuhkan fasilitas belajar berupa ruang belajar, meja, kursi, penerangan, alat tulis-menulis, buku-buku dan lain-lain, fasilitas belajar itu hanya dapat terpenuhi jika keluarga mempunyai ekonomi yang cukup, tetapi jika keadaan ekonomi keluarga memperihatinkan maka anak akan merasa tersisihkan atau terisolasi oleh teman-temamnya yang berekonomi cukup atau kaya, sehingga belajar anak akan terganggu. Bahkan mungkin karena kondisi ekonomi orangtuanya berada di bawah standar rata-rata, maka anakpun tidak akan memperhatikan kondisi belajarnya sebab ia akan ikut bekerja dan mencari nafkah sebagai pembantu orangtuanya walaupun sebenarnya anak belum saatnya untuk bekerja hal ini akan juga menggangu belajar anak. Namun tidak dapat disangkal pula bahwa kemungkinan adanya anak yang serba kekurangan dan selalu menderita akibat ekonomi keluarga yang lemah, tetapi justru keadaan yang begitu mereka menjadikannya cambuk untuk belajar lebih giat dan akhirnya sukses besar. Sebaliknya, terkadang pula keluarga yang kaya raya orangtua mempunyai kecenderungan untuk memanjakan anak. Anak hanya bersenang-senang dan berfoyah-foyah akibatnya anak kurang dapat memusatkan perhatiannya kepada belajar. Hal tersebut dapat pula menggangu belajar anak bahkan dapat pula menyebabkan anak gagal dalam pendidikan disebabkan kurang perhatiannya orangtua terhadap pendidikan anak-anaknya.
Anak yang sedang belajar selain harus terpenuhi kebutuhan pokoknya, misalnya makan, pakaian, perlindungan kesehatan, dan lain-lain juga membutuhkan fasilitas belajar berupa ruang belajar, meja, kursi, penerangan, alat tulis-menulis, buku-buku dan lain-lain, fasilitas belajar itu hanya dapat terpenuhi jika keluarga mempunyai ekonomi yang cukup, tetapi jika keadaan ekonomi keluarga memperihatinkan maka anak akan merasa tersisihkan atau terisolasi oleh teman-temamnya yang berekonomi cukup atau kaya, sehingga belajar anak akan terganggu. Bahkan mungkin karena kondisi ekonomi orangtuanya berada di bawah standar rata-rata, maka anakpun tidak akan memperhatikan kondisi belajarnya sebab ia akan ikut bekerja dan mencari nafkah sebagai pembantu orangtuanya walaupun sebenarnya anak belum saatnya untuk bekerja hal ini akan juga menggangu belajar anak. Namun tidak dapat disangkal pula bahwa kemungkinan adanya anak yang serba kekurangan dan selalu menderita akibat ekonomi keluarga yang lemah, tetapi justru keadaan yang begitu mereka menjadikannya cambuk untuk belajar lebih giat dan akhirnya sukses besar. Sebaliknya, terkadang pula keluarga yang kaya raya orangtua mempunyai kecenderungan untuk memanjakan anak. Anak hanya bersenang-senang dan berfoyah-foyah akibatnya anak kurang dapat memusatkan perhatiannya kepada belajar. Hal tersebut dapat pula menggangu belajar anak bahkan dapat pula menyebabkan anak gagal dalam pendidikan disebabkan kurang perhatiannya orangtua terhadap pendidikan anak-anaknya.
Oleh karena
itu, relevansi antara pendidikan dan ekonomi keluarga sangat erat dan tidak
dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Cita-cita masa depan
seseorang tidak akan tercapai tanpa pendidikan, sedangkan pendidikan tidak
dapat berjalan tanpa dana, sedang dana sangat sulit tercapai tanpa pendidikan.
Dengan demikian, antara pendidikan dan kondisi ekonomi keluarga merupakan suatu
lingkaran yang tak berujung serta tak terpisahkan dan saling berkait satu sama
lain.
c. Broken home
Siswa yang tinggal bersama orang tua akan mengalami hambatan dalam
belajar, apabila tidak adanya kekompakan dan kesepakatan diantara kedua orang
tuanya. Perselisihan, pertengkaran, perceraian, dan tidak adanya tanggung jawab
antara kedua orang tua akan menimbulkan keadaan yang tidak diinginkan terhadap
diri siswa dan akan menghambat proses belajar.
Perbedaan
anak yang tinggal dalam keluarga utuh dan broken home:
· Terdapat perbedaan motivasi belajar antara siswa berasal dari keluarga
broken home dengan motivasi belajar siswa dari keluarga utuh.
· Motivasi belajar siswa dari keluarga broken home lebih rendah daripada
motivasi belajar siswa dari keluarga utuh
· Keadaan keluarga broken home memberi pengaruh yang cukup signifikan
terhadap motivasi belajar siswa.
Di dalam
konflik rumah tangga terutama konflik antara suami– istri kadang menimbulkan
ha-hal yang berdampak negative. Salah satu dampak negatif dari konflik yang
terjadi dalam rumah tangga yang paling dominan adalah dampak terhadap
perkembangan anak. Aktor utama “Broken Home” (suami istri) kadang jarang
memikirkan dampak apakah yag akan terjadi pada anak-anaknya apabila terjadi
perpecahan atau perpisahan rumah tangga.
Dampak apa
yang akan terjadi pada anak yang nantinya menjadi korban konflik orang tua
apabila terjadi konflik dalam rumah tangga dan harus berakhir dengan broken
home. Salah satunya yaitu pada aspek Kejiwaan
Seorang anak korban “Brokoen Home” akan mengalami tekanan mental yang berat. Di lingkungannya. Misalnya, dia akan merasa malu dan minder terhadap orang di sekitarnya karena kondisi orang tuanya yang sedang dalam keadaan “Broken Home”. Di sekolah, disamping menjadi gunjingan teman sekitar, proses belajarnya juga terganggu karena pikirannya tidak terkonsentrasi ke pelajaran. Anak itu akan menjadi pendiam dan cenderung menjadi anak yang menyendiri serta suka melamun.
Seorang anak korban “Brokoen Home” akan mengalami tekanan mental yang berat. Di lingkungannya. Misalnya, dia akan merasa malu dan minder terhadap orang di sekitarnya karena kondisi orang tuanya yang sedang dalam keadaan “Broken Home”. Di sekolah, disamping menjadi gunjingan teman sekitar, proses belajarnya juga terganggu karena pikirannya tidak terkonsentrasi ke pelajaran. Anak itu akan menjadi pendiam dan cenderung menjadi anak yang menyendiri serta suka melamun.
d. Relasi antar
anggota keluarga yang kurang baik
Yang penting
dalam keluarga adalah relasi orang tua dan anaknya. Selain itu juga relasi anak
dengan saudaranya atau dengan keluarga yang lain turut mempengaruhi belajar
anak. Wujud dari relasi adalah apakah ada kasih sayang atau kebencian, sikap
terlalu keras atau sikap acuh tak acuh, dan sebagainya.
Relasi yang
kurang baik antar anggota keluarga dapat di pengaruhi oleh kurangnya komunikasi
antar anaggota keluarga. Belakangan ini banyak orang tua yang sibuk sendiri
dengan pekerjaannya, mereka menganggap bahwa tugas orang tua tidak lebih dari
sekedar mencukupi kebutuhan lahir anak. Seperti makan, minum, pakaian dan
alat-alat pelajaran, serta kebutuhan-kebutuhan lain yang bersifat kebendaan.
Sehingga orang tua cenderung acuh dan tidak memelihara hubungan antar anggota
keluarga. Relasi keluarga yang kurang baik ini dapat menyebabkan antar anggota
keluarga kurang peduli terhadap anggota keluarga yang lain, antar anggota
keluarga cenderung acuh atau tidak mau ikut campur urusan anggota keluarganya
yang lain, padahal jika ada suatu masalah yang perlu bantuan dari anggota
keluarganya namun anggota keluarganya tidak mau tahu atau tidak mau membantu
dapat menyebabkan orang jengkel dan kecewa terhadap anggota keluarganya
tersebut. Hubungan atau relasi yang baik antar anggota keluarga dapat membuat
anak termotivasi untuk mengejar prestasi belajarnya. Karena ia merasa mendapat
dorongan dari anggota keluarganya. Dengan mendapatkan prestasi yang baik dapat
membuat dirinya bangga dan anggota keluarganya juga ikut bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar